Khartoum - Setelah sempat dilarang meninggalkan Afrika Selatan, Presiden Sudan Omar
al Bashir dilaporkan telah tiba di ibukota negara, Khartoum. Bashir
tidak diizinkan keluar atas perintah Mahkamah Kejahatan Internasional
(ICC).
Bashir menginjakan kaki di Khartoum pada Senin 15 Juni 2015. Dia meninggalkan Johannesburg dengan menggunakan pesawat terbangnya.
Dalam sebuah tayangan televisi Sudan, kedatangan Bashir langsung disambut pejabat tinggi negara tersebut. Dia pun terlihat tenang saat menuruni pesawat.
Terkait penangkapan Presiden Bashir, Menteri Luar Negeri Sudan Ibrahim Ghandour menyebutnya sebagai sesuatu yang ilegal. Dia menyatakan, ada motif politik di balik penangkapan Bashir.
Ibrahim juga yakin terdapat oknum yang memang sengaja membuat kekacauan ini. Disebutkan, oknum itu pantas dijuluki musuh Afrika.
"Keikutsertaannya (di Pertemuan Uni Afrika) harusnya menjadi suatu yang normal tanpa kehebohan," kata Ibrahim, seperti dikutip dari Reuters, Selasa (16/6/2015).
"Tetapi musuh Afrika, musuh Sudan serta musuh negara yang damai ingin mengubah hal normal ini menjadi sebuah drama dengan mencegah Presiden kami dari partisipasi pentingnya," sambung dia.
AS Kecewa
Gagalnya penangkapan Bashir menimbulkan kekecewaan bagi sejumlah pihak. Termasuk Amerika Serikat (AS).
Kekecewaan AS ini secara tak langsung ditujukan pada Afsel. Mereka menilai Afsel tidak mengambil aksi nyata demi menangkap Bashir yang dituding telah melakukan genosida.
"Sudah jelas, seharusnya ada tindakan lebih yang harus diambil," sebut Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, Jeff Rathke.
Omar al Bashir merupakan salah satu pemimpin kontroversial di Afrika dan dunia. Dirinya telah memerintah Sudan lebih dari 25 tahun.
Bashir dituding telah terlibat dalam kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan pembunuhan massal pada masa konflik di Darfur.
Konflik berdarah tersebut berlangsung pada 2003. Kala itu , pemberontak suku melancarkan aksi perlawanan terhadap pemerintah pusat di wilayah Darfur Barat.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan lebih dari 300 ribu orang tewas sejak konflik itu meletus. Selain itu, lebih dari 2 juta orang kehilangan tempat tinggal.
Bashir menginjakan kaki di Khartoum pada Senin 15 Juni 2015. Dia meninggalkan Johannesburg dengan menggunakan pesawat terbangnya.
Dalam sebuah tayangan televisi Sudan, kedatangan Bashir langsung disambut pejabat tinggi negara tersebut. Dia pun terlihat tenang saat menuruni pesawat.
Terkait penangkapan Presiden Bashir, Menteri Luar Negeri Sudan Ibrahim Ghandour menyebutnya sebagai sesuatu yang ilegal. Dia menyatakan, ada motif politik di balik penangkapan Bashir.
Ibrahim juga yakin terdapat oknum yang memang sengaja membuat kekacauan ini. Disebutkan, oknum itu pantas dijuluki musuh Afrika.
"Keikutsertaannya (di Pertemuan Uni Afrika) harusnya menjadi suatu yang normal tanpa kehebohan," kata Ibrahim, seperti dikutip dari Reuters, Selasa (16/6/2015).
"Tetapi musuh Afrika, musuh Sudan serta musuh negara yang damai ingin mengubah hal normal ini menjadi sebuah drama dengan mencegah Presiden kami dari partisipasi pentingnya," sambung dia.
AS Kecewa
Gagalnya penangkapan Bashir menimbulkan kekecewaan bagi sejumlah pihak. Termasuk Amerika Serikat (AS).
Kekecewaan AS ini secara tak langsung ditujukan pada Afsel. Mereka menilai Afsel tidak mengambil aksi nyata demi menangkap Bashir yang dituding telah melakukan genosida.
"Sudah jelas, seharusnya ada tindakan lebih yang harus diambil," sebut Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, Jeff Rathke.
Omar al Bashir merupakan salah satu pemimpin kontroversial di Afrika dan dunia. Dirinya telah memerintah Sudan lebih dari 25 tahun.
Bashir dituding telah terlibat dalam kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan pembunuhan massal pada masa konflik di Darfur.
Konflik berdarah tersebut berlangsung pada 2003. Kala itu , pemberontak suku melancarkan aksi perlawanan terhadap pemerintah pusat di wilayah Darfur Barat.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan lebih dari 300 ribu orang tewas sejak konflik itu meletus. Selain itu, lebih dari 2 juta orang kehilangan tempat tinggal.